Dua Single Espresso

Posted on | Wednesday, January 5, 2011 | No Comments

Belum sempat pengantar menu itu bertanya, “Dua single espresso.” Kusambar dia, sambil mengangkat jari tangan kanan dengan jari telunjuk dan jari tengah yang mengacung. Aku baru beberapa hari di kota pesisir ini, tapi aku sudah mulai bosan. Kota ini sebenarnya punya lanskap sejarah yang kaya, namun pembangunan pusat perbelanjaan dan perluasan jalan menutupi semua artefak. Yang tersisa hanya romantisme yang kelewat diagung-agungkan, jadinya sejarah hanya sekedar kitsch, pemanis kota. Kota yang makin lama-makin suram.

Hari ini aku sebenarnya berniat mengejar senja, berbekal sebuah kamera film yang sudah hampir masuk museum. Menyisiri beton-beton pemecah ombak. Beginilah bila kota pesisir menjadi kota metropolitan. Tak ada pasir yang tersisa, apalagi hutan bakau dengan burung-burung air dan ikan-ikan karang. Yang ada hanya reklamasi. Niat flaneur-ku urung, cuaca juga tak terlalu bagus, mendung tampaknya sedang mengincar tempatku berdiri untuk memuntahkan air di perut hitamnya. Aku memutuskan untuk mencari kopi.

Kafe ini menghadap langsung ke garis pantai. Horison senja akan sangat jelas seandainya tidak mendung. Beberapa meja bundar berpayung ditempatkan di terasnya. Ku pilih salah satu yang paling ujung. Sore itu sepi, mungkin karena hari kerja. Hanya ada dua pasangan yang sedang bersantai menikmati kopi. Pasangan pertama berseragam kerja, mungkin mereka satu kantor dan berniat menghindari kemacetan dengan secangkir kopi. Pasangan yang kedua, dua orang lelaki yang berbicara terlampau keras, dan diselipi cekikik yang sangat mengganggu. Untung tempat dudukku terletak di ujung.

Ku geser pantat ke ujung kursi. Kaki ku luruskan, tangan ku satukan di atas selangkangan. Posisi seperti ini membuatku rileks dan mata dengan leluasa menikmati godaan angin untuk menutup. Pesanan belum juga datang.

“Ini kopinya, satu double espresso” sore itu semakin kacau saja. Tapi aku tak ada hasrat untuk memaki, karena itu akan tambah merusak suasana. “saya pesan dua single espresso, bukan satu double espresso.” Aku berusaha menerangkan sebaik-baiknya, walau ku tau mimik wajahku tak bisa menyembunyikan kekecewaan yang tak ramah. Dan beruntung penyaji ini tak berusaha mendebat, walau sesaat kutangkap lirikan matanya seperti mencari-cari, mungkin dia kira aku datang dengan seseorang. Dan aku tak berniat menjelaskan. Menjelaskan kesendirian sama seperti memberi tahu bahwa es itu panas, pasti hanya menuai tawa sinis. ‘Just because I’m alone doesn’t mean I’m lonely,’ sepenggal quote dari pujangga Twitter. Aku yakin sebentar lagi orang yang menulis itu akan bunuh diri, bah!. Kesunyian yang sempurna itu tak pernah bisa dibagi.

Akhirnya pesananku sampai. Dua single espresso, dua tatakan, dua cangkir, dua pengaduk, dua bungkus gula, dan dua kue jahe. Ku tatap puas-puas lapisan buih coklat kusam di atas dua cangkir itu. Ini bagian pertama yang ku suka dari espresso. Busa tipis yang menutupi bagian inti yang berwarna hitam. Espresso yang pas bias dilihat dari warna buih ini. Aku tak terlalu suka espresso yang pahit tanpa gula. Tapi sebelum lapisan berwarna karamel ini habis terseruput, aku tidak akan menambahkan gula. Apalagi hanya untuk iseng mengaduknya. Bagi para barista, espresso adalah semacam gerbang untuk meracik kopi lain. Semua harus pas dalam membuat kopi ini, tidak boleh kurang, tidak juga lebih.

Cangkir kecil espresso ini berasal dari sebuah keterburu-buruan, bahkan ketika ditemukan oleh Luigi Bezzera, pada 1903. Espresso diciptakan dengan memotong waktu pengolahan. Hingga dinamai espresso, kopi cepat untuk orang yang tak punya waktu banyak. Berarti orang sudah terburu-buru semenjak satu abad yang lalu. Sungguh aku tidak suka dengan ide ini, aku tidak suka dengan relasi cangkir kecil dengan waktu yang sesaat. Di sebuah kedai kecil di Pulau Tarempa misalnya, orang bisa menyeruput kopi tubruk dengan cangkir kecil hingga bejam-jam. Ketika masih panas, kopi di tuang pada tatakannya. Ditiup-tiup, lalu diseruput dengan nikmatnya. Mereka tahu cara menikmati kopi, dengan penganan kue-kue yang manis dan obrolan hangat khas warung kopi. Kopi O, begitu mereka menyebutnya. Mungkin karena secara geografis Tarempa yang terletak di Kepulauan Natuna ini dekat dengan Singapura dan Malaysia, hingga terma yang sama dipakai di seluruh wilayah semenanjung. Percampuran budaya Melayu dan Cina juga dapat dilihat dari bentuk cangkir dan motif-motifnya.

Aku selesai dengan cangkir pertama yang ku isi setengah kantung gula. Buih kedua siap disesap. Lalu apakah ada keterburu-buruan dalam dua cangkir single espresso?. Apakah hukum matematika berlaku di sini, satu ketergesaan ditambah satu ketergesaan yang lain, hasilnya?. Sungguh aku tak ingin berfilosofi dengan kopi, yang aku inginkan hanya menikmati sore. Namun sore ini tak akan menarik bila kita tak bertanya-tanya, sekadar menghabiskan senja.

Words: Baihaqi

Comments

Leave a Reply

visitors

Popular posts

Followers